Emotional-Driven Design in Creating Design Value
Pengalaman pengguna (user experience) dapat diindikasikan oleh tingkat respon emosi dari pengguna terhadap produk yang digunakan. Produk yang memiliki nilai emosi (emotional value) akan mendapatkan penilaian khusus dari pengguna yang tidak terbatas pada desain produk saja tetapi berpengaruh juga terhadap nilai brand (brand value) dari produk tersebut.
Brand-brand terkenal telah berhasil menempatkan posisinya masing-masing untuk mendapatkan respon khusus dari pengguna mulai dari otomotif, jam tangan, smartphone, computer, furniture, dll.
Don Norman dalam bukunya Emotional Design mendefinisikan nilai emosi terhadap desain produk dalam tiga mulai dari terendah sampai tertinggi sebagai berikut: visceral level, behavioral level dan reflective level.
Visceral level of design fokus pada respon pengguna saat melihat sisi fisik dan estetika produk. Level ini terjadi saat produk dipaparkan dalam iklan di media atau ruang pameran dan mendapat respon dari masyarakat. Konsumen akan menilai pertama kali melalui desain fisik sebuah produk yang meliputi elemen bentuk, warna dan fungsi produk saat diuji coba. Momen pada level visceral ini merupakan moment of truth dari apresiasi produk oleh konsumen yang menentukan value produk tersebut secara visual. Kemudian, saat uji coba produk dilakukan pengguna dan produk akan saling berinteraksi yang menimbulkan reaksi perilaku (behavior) dari pengguna. Sebagai contoh, desain smartphone akan mempengaruhi penggunaannya seperti, penyimpanan di kantong atau tas, penempatan di meja saat berdiskusi dengan orang lain, pendekatan dalam merespon panggilan telepon, dan pengoperasian smartphone secara keseluruhan. Keseluruhan perilaku tersebut akan menggugah emosi pengguna dalam menilai desain produk tersebut, makin mudah dan sederhana pengoperasian tersebut maka makin bernilai produk tersebut bagi pengguna. Namun hal ini sudah mulai subjektif karena setiap individu memiliki preferensi masing-masing yang sangat unik. Visceral level dan behavioral level merupakan expectation-induced reaction yang artinya reaksi pengguna dirangsang oleh ekspektasi pengguna.
Level terakhir adalah Reflective level yang merupakan intellectuality-induced reaction seperti yang dilakukan oleh para kolektor barang-barang unik sehingga memiliki nilai diluar ekspektasi orang biasa. Level ini sangat subjective dan terkadang hanya berlaku pada komunitas spesifik yang tidak dapat disamakan dengan pendekatan desain pada umumnya. Sebagai contoh kendaraan sport dengan brand yang melegenda harga bekasnya bisa lebih tinggi dibandingkan harga barunya akibat nilai desain dan historis yang diapresiasi oleh komunitas pengguna dan produksinya yang terbatas. Ketiga level ini dapat menjadi strategi bagi desainer dalam memposisikan produknya dan kemudian mengembangkan nilai produknya menjadi lebih bernilai.
Reference:
Norman, D. A. (2004). Emotional design: Why we love (or hate) everyday things. Basic Civitas Books.
Eventually, adapted and narrated by Ezra Peranginangin, Ph.D, ; PDE Team, BASE.
https://www.youtube.com/watch?v=G7MeRkDkRN4
https://www.youtube.com/watch?v=vdDwe0bM4U4
Comments :