就職活動 (Shūshoku Katsudō): Tradisi Mencari Kerja di Jepang
Di Jepang, proses mencari kerja bagi mahasiswa tingkat akhir dikenal dengan istilah shūshoku katsudō (就職活動), yang disingkat menjadi shūkatsu (就活) atau job hunting. Tidak seperti di banyak negara lain yang rekrutmen berlangsung sepanjang tahun, di Jepang pencarian kerja dilakukan secara massal dan serentak, biasanya dimulai setiap awal musim semi. Mahasiswa berbondong-bondong menghadiri seminar perusahaan, mengenakan setelan hitam-hitam seragam khas shūkatsu, dan mengikuti wawancara berlapis demi mendapatkan naitei (内定) atau penawaran kerja awal. Tradisi ini bukan hanya soal mencari pekerjaan, tetapi juga cerminan budaya kolektif, disiplin, dan struktur sosial Jepang yang khas.
Sistem ini dimulai sejak tahun 1953 oleh Keidanren (経団連), yaitu Federasi Bisnis Jepang yang beranggotakan lebih dari 1300 perusahaan Jepang dan lebih dari 100 grup industry. Sistem ini terjadi karena kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak saat Jepang sedang menghadapi pertumbuhan ekonomi pesat setelah perang dunia II. Sistem shūkatsu ini menjanjikan kepegawaian seumur hidup bagi perusahaan Jepang yang juga membutuhkan stabilitas dan status. Biasanya dalam prakteknya, Keidanren yang menentukan jadwal kapan dimulainya shūkatsu ini setiap tahunnya. Banyak revisi yang terjadi setiap tahunnya sehingga sering sekali tanggalnya berubah-ubah. Perubahan kebijakan pemerintah juga menjadi salah satu seringnya jadwal yang berubah, sehingga para mahasiswa terkadang bingung.
Sistem ini juga bukan tanpa masalah. Setiap perubahan dari kaidanren ataupun dari pemerintah Jepang, harus dituruti oleh perusahaan-perusahaan yang merupakan anggotan kaidanren, termasuk perubahan jadwal. Hal ini dimanfaatkan oleh para perusahaan global yang bukan anggota dari kaidanren untuk Menyusun strategi dan menjalankannya demi mendapatkan mahasiswa-mahasiswa teladan bagi perusahaannya.
Dalam pelaksanaan shūkatsu, ada beberapa hal yang sangat berpengaruh. Pertama, peran alumni biasanya menjadi sangat penting, karena biasanya informasi lowongan datang dari alumni. Kedua, para kandidat akan mengenakan yang disebut “seragam hitam-hitam”, yaitu jas hitam, kemeja putih, dan sepatu kulit hitam sebagai simbol keseragaman dan profesionalisme.
Shūkatsu dilalui dalam beberapa proses, yaitu:
- Seminar Perusahaan (Setsumeikai)
Dimulai awal Maret setiap tahun. Mahasiswa menghadiri presentasi perusahaan untuk mengenal budaya kerja dan peluang yang ditawarkan.
- Entry Sheet (ES) dan Tes Tertulis
Setelah seminar, mahasiswa mengisi formulir aplikasi standar (entry sheet) dan mengikuti ujian tertulis sebagai tahap penyaringan awal.
- Wawancara Berlapis
Kandidat yang lolos akan menjalani beberapa kali wawancara. Proses ini sering berlangsung ketat dan mendetail, untuk menilai kemampuan serta kesesuaian dengan perusahaan.
- Penawaran Kerja (Naitei)
Mahasiswa yang berhasil melalui seluruh tahapan akan menerima naitei, yaitu penawaran kerja resmi sebelum lulus.
Di balik proses yang terstruktur, shūshoku katsudō juga membawa tekanan sosial yang cukup berat bagi mahasiswa. Tidak jarang mereka melamar puluhan bahkan hingga ratusan perusahaan demi memperbesar peluang mendapatkan pekerjaan. Tekanan ini sering kali menimbulkan stres, bahkan melahirkan istilah shūkatsu utsu (就活鬱), yaitu depresi akibat pencarian kerja. Meski penuh tantangan, banyak orang Jepang memandang shūkatsu sebagai semacam tahapan penting menuju kedewasaan sosial dan profesional.
Dalam beberapa tahun terakhir, sistem shūshoku katsudō mulai mendapat kritik karena dianggap terlalu kaku dan kurang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja modern. Beberapa perusahaan kini mencoba membuka jalur rekrutmen di luar musim shūkatsu, memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi mahasiswa. Selain itu, meningkatnya jumlah mahasiswa asing juga mendorong perusahaan untuk menyesuaikan metode seleksi agar lebih inklusif dan beragam. Meski perlahan berubah, shūkatsu tetap menjadi tradisi kuat yang sulit dipisahkan dari budaya kerja Jepang.
Keyword: shūshoku katsudō, job hunting, Japanese employment, naitei, budaya kerja Jepang, Japanese workplace, Japanese Language, Japanese Culture.
SDG 8 – Decent Work and Economic Growth
Comments :