Dampak yang timbul saat kita mencela, menertawakan, atau menghina seorang pemimpin resmi sangat tergantung pada di negara mana Anda berada. Jika beruntung Anda paling hanya akan menerima kecaman dan tekanan dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Jika naas Anda harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Demikian R. Irawati mengawali artikelnya yang diberi judul “#ShameOnYou …,” pada Halo Jepang! Edisi Februari 2015/III, halaman 10.

 

Di dalam artikel tersebut diceritakan, bagaimana salah seorang penyanyi tenar di jepang, Kuwata Keisuke, mengajukan permintaan maaf secara resmi sehubungan dengan lelucon yang diarahkannya kepada Perdana Menteri Abe Shinzo melalui lirik lagu saat konser akhir tahun 2014. Aksi serupa lainnya yang dilakukan oleh Kuwata, adalah ketika sedang berada diatas panggung, dia melemparkan lelucon dengan cara melelang medali kehormatan, Medal with Purple Ribbon, yang disematkan langsung oleh Kaisar Akihito kepada dirinya pada November 2014.

Di negara Jepang, aksi mengejek pemimpin hanya akan mendapat sanksi sosial, sedangkan di Thailand, aksi serupa bisa mendapat hukuman yang berat, misalnya penjara 15 tahun dan hanya bisa bebas apabila raja Thailand memberikan pengampunan. Di dalam artikel tersebut, apa yang dialami oleh Joe Gordon, warga negara Amerika Serikat,dijadikan contoh. Joe Gordon dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara karena menerjemahkan beberapa paragraf “The King Never Smiles,” dari bahasa Inggris ke bahasa Thailand dan mengunggahnya secara berani.

Berbeda halnya dengan perilaku serupa jika terjadi di negara Indonesia. Kebebasan berekspresi diterjemahkan sebagai kebebasan yang utuh tanpa batasan yang jelas, sehingga dalam banyak kasus tidak berhenti pada menertawakan dan meledek saja, namun juga sampai memfitnah tanpa harus menanggung konsekuensi apapun, selain sanksi sosial. Dewasa ini, dunia maya di Indonesia hiruk pikuk dengan “#ShameOnYouJokowi,” sebagai salah satu bentuk protes terhadap sejumlah kebijakan Presiden yang dipandang tidak sesuai dengan janji kampanye sang Presiden.

Pada akhir artikel “#ShameOnYou …,” pembaca diajak untuk berpikir, bagaimana seharusnya mengelola fenomena tersebut dengan sebaik-baiknya, agar tidak berkembang menjadi aksi radikal, seperti kasus Charlie Hebdo. Ketika benturan di dunia maya juga terbawa ke dunia nyata. Ada baiknya untuk menyimak kalimat bijak: “Kebebasanmu sejatinya berhenti saat kebebasan orang lain mulai terganggu,” yang dipetik dari harm principle seorang filsuf Inggris, John Stuart Mill.

Tulisan dirangkum dari surat kabar Halo Jepang! Edisi Februari 2015/III